Review Buku Manusia Perahu Karya Isye Ismayawati
Sampul Buku Manusia Perahu (Sumber: Tokopedia) |
Deskripsi Buku
Judul Buku : Manusia Perahu, Tragedi Kemanusiaan di Pulau GalangPenulis : Isye Ismayawati
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : 2013
Tebal Halaman : xvii+210 halaman
Review Buku Manusia Perahu
Istilah Manusia Perahu dan Kedatangannya di Indonesia
Sobat pembaca sekalian, pernahkah mendengar istilah manusia perahu? Ketika mendengarnya, lantas apa yang terpikirkan di benak Anda? Manusia yang tinggal dalam perahu, atau manusia yang menggunakan perahu sebagai sarana transportasi? Saya yakin sebagian dari pembaca sekalian baru kali ini mendengar istilah ini. Benar begitu?
Istilah manusia perahu di dalam buku ini melekat kepada pengungsi asal Vietnam yang terusir dari tanah kelahirannya akibat konflik berkepanjangan. Konflik yang turut melibatkan salah satu negara adidaya saat ini, yakni Amerika Serikat mengakibatkan puluhan ribu orang mengungsi ke berbagai negara di Asia Tenggara. Singapura, Malaysia, bahkan Indonesia menjadi negara tujuan pelarian dari pengungsi ini. Dengan menggunakan moda transportasi berupa perahu dan dengan membawa bekal seadanya, pengungsi melarikan diri dengan harapan dapat terhindar dari konflik yang terjadi di negaranya.
Gelombang pengungsi datang secara bergelombang dengan arus yang deras kala itu. Sebagian besar pengungsi berlabuh di pulau-pulau yang masuk dalam wilayah Kepulauan Riau. Pengungsi pun tersebar di berbagai pulau dan tempat yang ada, salah satunya adalah Bintan, Kepulauan Anambas, dan beberapa pulau di Kepulauan Natuna.
Pembangunan Kamp Pengungsian
Pada awalnya, kedatangan pengungsi disambut baik oleh penduduk setempat. Penduduk setempat yang merasa simpati memberikan bantuan ala kadarnya kepada pengungsi yang datang. Seiring berjalannya waktu, penduduk mulai kesulitan karena memang gelombang kedatangan pengungsi yang masif, selain beberapa tindak pencurian dan perusakan lahan yang dilakukan oleh mereka.
Pemerintah membentuk P3V untuk mengatasi masalah ini. P3V adalah singkatan dari Panitia Pengelolaan Pengungsi Vietnam sebagai pusatnya dan P3V Daerah sebagai pelaksananya di lapangan. PMI ditunjuk pula untuk memperhatikan kondisi kesehatan pengungsi beserta lingkungan tinggalnya. Selain itu, ditunjuk pula beberapa kontraktor yang bertugas membangun sarana dan prasarana untuk kebutuhan pengungsi, dari mulai tempat tinggal, tempat ibadah, akses jalan, air bersih, dan sebagainya.
Pembangunan pada awalnya dilakukan di dua tempat di Pulau Jemaja, yakni di Air Raya dan Kuku. Berbagai keperluan pengungsi sudah mulai dipenuhi dan ditindak secara serius atas dasar kemanusiaan. Kamp pengungsian dibangun, termasuk tempat ibadah dan sarana pendukung lainnya. Namun, demi efektifitas dan juga kenyamanan penduduk setempat di Pulau Jemaja, Pemerintah mulai mencari pulau alternatif untuk penampungan pengungsi dari Vietnam ini.
Setelah melalui pengamatan dan pertimbangan, Pulau Galang akhirnya terpilih sebagai pulau yang digunakan untuk penampungan pengungsi. Pembangunan di Galang dilakukan untuk kebutuhan pengungsi sejak saat itu. Alasan mengapa Pulau Galang yang dipilih untuk hal ini dijelaskan dengan detail di dalam buku ini.
Pembangunan pada awalnya dilakukan di dua tempat di Pulau Jemaja, yakni di Air Raya dan Kuku. Berbagai keperluan pengungsi sudah mulai dipenuhi dan ditindak secara serius atas dasar kemanusiaan. Kamp pengungsian dibangun, termasuk tempat ibadah dan sarana pendukung lainnya. Namun, demi efektifitas dan juga kenyamanan penduduk setempat di Pulau Jemaja, Pemerintah mulai mencari pulau alternatif untuk penampungan pengungsi dari Vietnam ini.
Setelah melalui pengamatan dan pertimbangan, Pulau Galang akhirnya terpilih sebagai pulau yang digunakan untuk penampungan pengungsi. Pembangunan di Galang dilakukan untuk kebutuhan pengungsi sejak saat itu. Alasan mengapa Pulau Galang yang dipilih untuk hal ini dijelaskan dengan detail di dalam buku ini.
Berbagai Pihak Aktif Membantu
Dalam menangani pengungsi dari Vietnam yang berdatangan terus dari waktu ke waktu, P3V dibantu oleh berbagai organisasi kemanusiaan yang berskala nasional dan internasional. Bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak ini sangat dirasakan oleh pemerintah, karena memang meringankan kerja dari pemerintah. Organisasi yang turut membantu dalam pengurusan masalah pengungsi, membantu di berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan pokok.
Diantara organisasi nasional yang turut membantu adalah Care Indonesia dan The Asia Foundation. Ada pula beberapa badan PBB turut membantu, diantaranya UNICEF, WHO dan WFP. Selain itu, berbagai organisasi internasional lain turut membantu, diantaranya Save The Children Alliance, The Swiss Disaster Relief Corps, World Vision, Medecins Sans Frontieres, Oxfam, dan Concern. Selain berbagai organisasi kemanusiaan yang telah disebutkan diatas, ada pula sumbangan berupa rumah sakit yang diberikan oleh Pemerintah Australia.
Akhir Masa Pengungsian
Sejak 1975 hingga September 1996, Indonesia telah menampung 121.708 manusia perahu dan memberangkatkan 111.876 orang ke negara ketiga. Jumlah yang dipulangkan kembali ke negara asal sebanyak 12.672 orang.Kisah panjang masa penampungan pengungsi Vietnam di Pulau Galang memperlihatkan kesungguhan Indonesia ikut serta dalam tugas kemanusiaan dan perdamaian dunia. Sungguh suatu kolaborasi aksi kemanusiaan antara pemerintah, prajurit, PMI, UNHCR, dan berbagai organisasi internasional non profit lainnya berperan menangani pengungsi Vietnam dengan tak kenal lelah. Pusat penampungan pengungsi Vietnam pada 8 September 1996 pada akhirnya resmi ditutup.
Catatan
Pembaca sekalian, membaca buku ini memberikan gambaran yang menarik mengenai manusia perahu dari Vietnam. Kita akan mengetahui bagaimana kedatangan mereka di Indonesia hingga pengiriman mereka ke berbagai negara ketiga, atau dipulangkan kembali ke negaranya. Kita juga bisa membayangkan bagaimana kehidupan di kamp pengungsian, sedikit merasakan bagaimana rasanya 'terbuang' dari tanah kelahiran yang dicintai.
Penjelasan dalam buku ini cukup detail untuk memahami berbagai aspek pengungsi Vietnam kala itu yang memang kompleks. Sayangnya terkadang saya merasa bab per bab terlampau detail dan berputar-putar pembahasannya sehingga sedikit menjemukkan. Saya sendiri sempat beberapa kali diserang kantuk secara tiba-tiba ketika sedang membaca buku ini. Namun, hal ini tak mengurangi minat saya untuk membaca halaman demi halaman dalam buku ini.
Selain penjelasan yang detail, buku ini juga ditunjang dengan banyaknya foto yang merupakan dokumentasi kehidupan pengungsi. Dokumentasi tidak hanya di Galang saja, namun juga di beberapa tempat di sekitar Galang seperti Kamp Air Raya dan Kuku. Adanya foto-foto ini sangat membantu pembaca buku ini untuk membayangkan bagaimana kehidupan di kamp pengungsian kala itu, bagaimana rupa bangunan berupa barak dan tempat ibadah yang ada, serta fasilitas penunjang lainnya.
Untuk melengkapi artikel mengenai manusia perahu ini, berikut saya lampirkan beberapa foto dokumentasi kondisi terkini di Galang yang saya himpun dari berbagai sumber di internet:
Halaman depan Museum Galang (Sumber: Panoramio) |
Salah satu gereja peninggalan di Galang (Sumber: batamtoday) |
Monumen Perahu Galang (Sumber: indonesiabiz) |
Komentar
Posting Komentar