Review Novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
Sampul Buku Bumi Manusia (Sumber: Goodreads) |
Deskripsi Buku
Judul : Bumi Manusia
Penulis :
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit :
Lentera Dipantara Jakarta
ISBN :
9789799731234
Tebal :
534 halaman+14 halaman tambahan berupa penghargaan yang diraih dan terbitan
buku ini dengan berbagai judul di berbagai negara
Tentang Penulis
Pramoedya
Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir separuh
hidupnya dihabiskan dalam penjara, sebuah wajah semesta yang paling purba bagi
manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde
Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969,
Pulau Nusakambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, Pulau Buru Agustus 1969-12
November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses
pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979, Pramoedya Ananta Toer mendapat surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI tetapi
masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999
dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih
dua tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, diantaranya Tetralogi
Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Penjara
tak membuatnya berhenti sejengkal pun menulis. Baginya, menulis adalah tugas
pribadi dan tugas nasional. Dan ia konsukuen terhadap semua akibat yang ia
peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.
Dari
tangannya telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari
42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan,
Pramoedya Ananta Toer dianugerahi pelbagai penghargaan internasional. Sampai
akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya
berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Pada 30 April 2006
pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Review Novel Bumi Manusia
Deskripsi Cerita
Sulit
sekali rasanya mengetikkan kata demi kata untuk merangkai review ini menjadi satu kesatuan. Jikalau memang bisa, ingin
rasanya saya tuliskan semua isi dari buku yang luar biasa ini. Saya juga merasa
sangat berat menuangkan kembali apa yang telah saya dapatkan dari buku Bumi
Manusia ini. Pikiran saya menjadi majemuk, dengan banyak cabang pikiran yang
bersumber dari buku ini. Mungkin ada baiknya saya memulai dengan kutipan salah
satu tokoh yang ada di dalam buku ini, yakni Nyai Ontosoroh.
“Cerita, .., selamanya
tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkan
itu hewan, raksasa, atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dipahami
daripada sang manusia... jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya
begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam
pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat
menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia
takkan bakal bisa kemput.”
Cerita
dalam roman ini diawali dengan pengenalan tokoh utama bernama Minke, yang tak
diketahui siapa keluarganya pada awalnya. Tokoh Minke diceritakan adalah
seseorang yang gemar menulis, merupakan siswa H.B.S. Surabaya, penulis lepas
untuk S.N. v/d D dengan nama pena Max
Tollenaar. Cerita berlanjut kepada pertemuan antara Minke dan Annelies Mellema,
anak dari Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh, pemilik dari Boerderij Buitenzorg di Wonokromo pada saat kedatangannya bersama
Robert Suurhof. Pertemuan yang tak direncanakan sebelumnya itu menghasilkan
hubungan yang akrab antara Minke dengan keluarga Mellema, terutama dengan
Annelies. Minke jatuh cinta pada Annelies sejak pertemuan pertamanya dengannya.
Siapa lelaki yang tak jatuh cinta saat bertemu dengan bidadari Eropa yang
kecantikannya digambarkan sempurna dalam buku ini? Membaca deskripsi mengenai
kecantikannya saja sudah beberapa paragraf banyaknya. Ah, andai saja saya bisa
bertemu juga dengannya.
Hubungan
yang akrab antara Minke dan keluarga kecil di Boerderij Buitenzorg memberikan banyak masalah di kemudian hari
bagi Minke, selain beberapa kemudahan yang ia peroleh karena tinggal dengan
keluarga yang kaya. Mulai dari kedengkian Herman Mellema dan Robert Mellema
melihat kedekatan Annelies dan Nyai dengan Minke, masalah Minke dengan
keluarganya yang ternyata merupakan pejabat pemerintahan pribumi, desas desus
yang timbul akibat tinggalnya Minke di kediaman Nyai Ontosoroh, hingga masalah
mengenai status perkawinan antara Minke dan Annelies Mellema. Semua diceritakan
secara runtut dan gamblang oleh Pramoedya. Sayang, kisah cinta mereka dalam
buku ini diakhiri dengan perpisahan diantara keduanya karena Annelies harus
mematuhi keputusan sidang yang memutuskan bahwa dirinya harus pergi ke
Nederland, tanah leluhurnya. Minke dan Nyai Ontosoroh sendiri tak diperkenankan
mengiringi keberangkatannya ke Nederland.
Nyai
Ontosoroh, yang memiliki nama asli Sanikem, berasal dari keluarga yang hidup
secara sederhana. Ayahnya yang berambisi untuk menjadi petinggi di perusahaan,
melakukan berbagai cara agar ambisinya bisa terwujud. Salah satunya adalah
menjual putrinya itu, Sanikem kepada salah seorang yang kelak menjadi suaminya
walaupun tidak melalui perkawinan yang syah, yakni Herman Mellema.
“Seorang terpelajar
harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Salah satu kutipan dalam buku ini yang mengena di relung hati dan pikiran saya.
Diucapkan oleh Jean Marais, seorang tokoh berkebangsaan Prancis yang menjadi
teman dekat dan rekan kerja dari Minke. Jean Marais adalah mantan tentara
Belanda yang berperang di Aceh, dan memiliki anak dari ibunya yang merupakan
orang Aceh, May Marais namanya. Dalam buku ini, digambarkan bahwa Jean Marais
adalah orang yang bijak, dan merupakan teman Minke dalam mencurahkan perasaan
dan mengutarakan pendapatnya. Hingga akhir dalam buku ini, Jean selalu
mengikuti perkembangan Minke dan memberikan dukungan dan simpati untuk Minke.
Sosok Minke Alias Max Tollenaar
Minke,
dengan nama pena Max Tollenaar, dikenal luas oleh berbagai kalangan di Hindia.
Tulisan-tulisannya dikenal kritis terhadap situasi dan kondisi di Hindia pada
masa itu berdasarkan kacamata dan pandangannya. Kebanyakan berkisah mengenai pengalaman
hidupnya. Tulisan-tulisannya bahkan disukai oleh Magda Peters, guru yang
dicintainya di sekolah. Hanya dia satu-satunya orang yang selalu mendukung dan
mendorongnya di H.B.S. Surabaya. Sayangnya beberapa waktu kemudian dia terusir
dari Hindia Belanda karena pandangan dan pemikirannya yang dianggap liberal.
Hubungannya
dengan Annelies yang berujung pernikahan diantara keduanya juga bukan tanpa
rintangan. Minke yang memiliki hubungan buruk dengan ayah dan abangnya, dianggap
telah melampaui batas oleh ibundanya. Ia
sangat jauh dengan budaya Jawa, budaya leluhurnya. Salah satu kata-kata bijak
dari ibundanya perihal perilakunya saya kutip disini, “Bunda tak hukum kau. Kau
sudah temukan jalanmu sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil
kembali. Tempuhlah jalan yang kau anggap terbaik. Hanya jangan sakiti orang
tuamu, dan orang yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu.”
Akhir
dari kisah ini memang memilukan. Bagaimana tidak, Minke kehilangan istri cantik
yang dicintainya dan Nyai Ontosoroh yang merupakan mertuanya kehilangan hak
atas perusahaan yang telah ia besarkan secara susah payah. Semua terjadi begitu
saja karena keputusan pengadilan yang memang berat sebelah. Penyebabnya tak
lain adalah kemunculan Maurits Mellema, yang merupakan anak sah dari Herman
Mellema dari Nederland yang merasa berhak mendapatkan warisan berupa harta
kekayaan dan perusahaan milik ayahnya.
Kisah
didalam buku ini mengalir bagaikan arus yang tenang namun menghanyutkan.
Membuat setiap orang ketagihan membaca setiap halaman
dari kisah Minke ini. Penggambaran mengenai kehidupan masyarakat di masa
pendudukan Belanda, strata sosial yang ada, serta penggambaran mengenai
perkembangan teknologi dan budaya yang ada pada masa itu digambarkan dengan
cukup jelas oleh penulis. Bahkan pergulatan pemikiran dari tokoh-tokoh yang ada
pun dideskripsikan dengan cukup jelas. Tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita
pun, menurut saya memiliki karakteristik dan ciri khas masing-masing, yang
membuat cerita begitu hidup dengang ‘kekuatan’ tokoh masing-masing.
Ada
beberapa kosakata yang memang berbeda dengan kosakata yang ada
sekarang ini. Sebagai contoh adalah sassus, yang kurang lebih berarti sama dengan
desas desus, harmal yang merupakan singkatan dari hari malam (satu harmal=satu
hari satu malam sekarang), setangan yang sekarang dikenal dengan sebutan sapu
tangan, dan kriminil (Belanda: krimineel) bermakna penjahat, biasanya dalam
hal-hal besar. Selain beberapa contoh diatas, banyak istilah
dalam bahasa Belanda dipergunakan dalam menyusun paragraf demi paragraf dari
buku ini. Hal ini menambah nuansa kolonial Belanda disaat membaca sepenggal
kisah demi kisah dari buku ini.
Komentar
Posting Komentar