Perjalananku ke Ambarawa
Pagi menjelang siang yang cerah di hari itu, 13 Agustus 2017. Waktu menunjukkan sekitar pukul 11 kala itu. Aku dengan ditemani oleh seseorang yang spesial memulai perjalanan menuju ke Ambarawa, Kabupaten Semarang. Pada awalnya, destinasi wisata yang hendak kami tuju adalah Danau Rawa Pening dengan Kampoeng Rawanya yang terkenal.
Salah seorang ibu dari rombongan meminta kami untuk tetap naik dan bernegosiasi dengan pemandu kapal kami. Dengan wajah dongkol dan sesekali menggerutu, bapak ini akhirnya mengalah kepada ibu-ibu tersebut. Wah, kekuatan emak-emak memang tak tertandingi!
Saat perahu kami mengelilingi danau, pemandangan yang asri pun tersaji. Eceng gondok yang banyak tumbuh di kawasan danau, burung-burung - yang entah dari jenis apa - saling beterbangan dan hinggap kesana kemari. Perangkap ikan dan tempat istirahat sementara bagi nelayan dan warga sekitar yang menggantungkan diri dari hasil danau pun banyak kami temui disini. Panorama bukit di sekeliling menambah eksotisme dari Danau Rawa Pening ini. Cukup lama kami dibawa berkeliling, kurang lebih setengah jam kemudian kami pun sampai kembali di Kampoeng Rawa.
Setelah menghabiskan waktu perjalanan kurang lebih satu setengah jam, kami pun tiba di tempat tujuan. Siang cukup cerah dan terik kala itu. Beruntung bagi kami, cuaca yang cerah memudahkan kami untuk menjelajahi setiap sudut dari Kampoeng Rawa. Dengan membayar biaya parkir sebesar lima ribu rupiah, kami sudah bisa masuk ke Kampoeng Rawa. Fasilitas yang diberikan oleh pihak pengelola juga beragam, diantaranya parkiran yang cukup luas, mushola, tempat makan, pendopo yang ketika itu banyak digunakan pengunjung untuk melepas lelah, wahana permainan anak, dan masih banyak lagi. Rasanya kurang ‘afdhol’ jikalau kemari tapi tidak menjelajahi Danau Rawa Pening. Oleh karena itu, kami pun berinisiatif untuk menaiki perahu untuk berkeliling danau. Pengelola memberikan tiket sekali jalan seharga 100 ribu untuk fasilitas ini.
Karena harga yang dipatok dirasa terlalu tinggi, kebanyakan orang akhirnya mencari ‘barengan’ supaya tidak terlalu memberatkan. Ketika ku menanyakan hal ini kepada salah seorang pemandu untuk naik kapal, dia menyarankan agar kami yang hanya berdua mencari ‘barengan’ agar biaya 100 ribu tidak hanya ditanggung berdua.
Tak lama kemudian, datanglah beberapa orang yang nampaknya terdiri dari tiga rombongan berbeda yang ingin menaiki wahana yang sama denganku. Kami pun lega karena tak harus menunggu lama. Namun yang menjadi masalah adalah batas pengunjung yang diperbolehkan menaiki satu kapal hanya delapan orang, dan ketika itu aku hitung jumlah kami yang hendak menaiki satu kapal yang sama ada sepuluh orang. Kalau begini ceritanya, harus ada yang mengalah, dan kami pun bersedia untuk menunggu rombongan berikutnya untuk menaiki wahana ini.
Karena harga yang dipatok dirasa terlalu tinggi, kebanyakan orang akhirnya mencari ‘barengan’ supaya tidak terlalu memberatkan. Ketika ku menanyakan hal ini kepada salah seorang pemandu untuk naik kapal, dia menyarankan agar kami yang hanya berdua mencari ‘barengan’ agar biaya 100 ribu tidak hanya ditanggung berdua.
Tak lama kemudian, datanglah beberapa orang yang nampaknya terdiri dari tiga rombongan berbeda yang ingin menaiki wahana yang sama denganku. Kami pun lega karena tak harus menunggu lama. Namun yang menjadi masalah adalah batas pengunjung yang diperbolehkan menaiki satu kapal hanya delapan orang, dan ketika itu aku hitung jumlah kami yang hendak menaiki satu kapal yang sama ada sepuluh orang. Kalau begini ceritanya, harus ada yang mengalah, dan kami pun bersedia untuk menunggu rombongan berikutnya untuk menaiki wahana ini.
Salah seorang ibu dari rombongan meminta kami untuk tetap naik dan bernegosiasi dengan pemandu kapal kami. Dengan wajah dongkol dan sesekali menggerutu, bapak ini akhirnya mengalah kepada ibu-ibu tersebut. Wah, kekuatan emak-emak memang tak tertandingi!
Saat perahu kami mengelilingi danau, pemandangan yang asri pun tersaji. Eceng gondok yang banyak tumbuh di kawasan danau, burung-burung - yang entah dari jenis apa - saling beterbangan dan hinggap kesana kemari. Perangkap ikan dan tempat istirahat sementara bagi nelayan dan warga sekitar yang menggantungkan diri dari hasil danau pun banyak kami temui disini. Panorama bukit di sekeliling menambah eksotisme dari Danau Rawa Pening ini. Cukup lama kami dibawa berkeliling, kurang lebih setengah jam kemudian kami pun sampai kembali di Kampoeng Rawa.
"Aku" dengan latar belakang perahu yang digunakan untuk berkeliling danau |
Setelah puas menjelajahi Danau Rawa Pening, kami pun ingin mengunjungi destinasi wisata lain di Ambarawa. Pilihan pun jatuh ke Museum Kereta Api Indonesia atau Indonesia Railway Museum Ambarawa. Kurang lebih setengah jam kemudian, kami pun tiba di Museum. Sesaat sebelum tiba di museum, kami memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah masjid untuk menunaikan sholat.
Museum Kereta Api Indonesia, atau dikenal dengan sebutan Museum Kereta Api Ambarawa, terletak tak jauh dari pusat kota Ambarawa. Bangunan museum dahulunya merupakan Stasiun Ambarawa ketika stasiun ini masih aktif digunakan. Dari pagar depan dekat dengan pintu masuk, sudah terlihat beberapa gambaran mengenai museum ini. Satu hal yang dapat dipastikan adalah, banyak lokomotif dan gerbong kereta jaman dahulu yang berada disini. Apabila pembaca sekalian membuka media sosial seperti instagram atau path, destinasi wisata ini sangat instagramable!
Cukup merogoh kocek sepuluh ribu rupiah untuk tiket masuk per orangnya, pengunjung bisa dengan puas menikmati pemandangan seputar dunia perkeretaapian mulai dari sejarahnya, lokomotif dan gerbong yang digunakan dahulu, bentuk stasiun yang memiliki gaya klasik, hingga berbagai sudut yang menjadi spot foto favorit. Untuk pengenalan sejarahnya, pihak pengelola menyediakan satu lorong panjang khusus untuk menjelaskan sejarah perkeretaapian di Hindia Belanda hingga kini. Untuk pengunjung yang meminati sejarah, pasti lama akan beranjak dari lorong ini.
Tak hanya itu, puluhan gerbong dan lokomotif kuno, serta peninggalan berupa alat-alat untuk keperluan petugas stasiun mulai dari seragam, mesin hitung, hingga topi kepala stasiun yang didukung dengan bangunan stasiun yang tetap dijaga keasliannya, membantu pengunjung untuk membayangkan bagaimana suasana stasiun di tempo dulu. Hal ini menjadi salah satu manfaat dari sejarah, yakni manfaat rekreasi. Selain itu untuk akhir pekan, pihak pengelola menyediakan paket perjalanan dengan kereta wisata yang melayani perjalanan Ambarawa-Bedono dan Ambarawa-Tuntang dengan tarif yang relatif terjangkau.
Salah satu lokomotif tua di Museum |
Tak berbeda dengan pengunjung yang lain, kami berdua pun sibuk mengabadikan momen dengan berfoto ria. Mumpung berada disini, kapan lagi kami bisa kesini, pikir kami saat itu. Setelah puas mengabadikan momen dengan berbagai latar belakang, kami pun memutuskan pulang karena senja mulai nampak. Diluar pagar museum, berjejer beberapa pedagang kaki lima menjajakan dagangannya, mulai dari souvenir hingga makanan dan minuman. Rasa haus yang menyerang kami, membuat kami memutuskan untuk membeli es tebu diluar wilayah museum. Kebetulan, sore itu beragam penjual makanan dan aksesoris berjejer rapih di dekat pagar museum.
Menjelang sore, kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Tembalang. Perjalanan pulang memakan waktu kurang lebih 2,5 jam. Namun, rasa lelah yang hinggap terbayarkan karena perjalanan yang memang menarik untuk dikenang.
Menjelang sore, kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Tembalang. Perjalanan pulang memakan waktu kurang lebih 2,5 jam. Namun, rasa lelah yang hinggap terbayarkan karena perjalanan yang memang menarik untuk dikenang.
"Aku" dengan latar belakang Stasiun Ambarawa |
Komentar
Posting Komentar