Ringkasan Buku Islam dan Urusan Kemanusiaan, Editor Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin
Buku Islam dan Urusan Kemanusiaan (Sumber: Bukalapak) |
Judul
Buku : Islam dan Urusan Kemanusiaan
(Konflik, Perdamaian, dan Filantropi)
Editor : Hilman Latief dan Zezen
Zaenal Mutaqin
Penerbit
: PT Serambi Ilmu Semesta,
Jakarta
Tahun
Terbit : 2015
Tebal Buku : 413 halaman
ISBN : 978-602-290-024-5
Kata Pengantar
Indonesia dan beberapa
negara Asia Tenggara merupakan wilayah yang menjadi saksi perkembangan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mencurahkan tenaganya untuk
kegiatan-kegiatan kemanusiaan di lokasi-lokasi bencana. Pelbagai peristiwa
bencana alam dan bencana kemanusiaan akibat konflik antargolongan yang
menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa telah mendorong organisasi-organisasi
masyarakat untuk memberikan bantuan kepada para korban secara lebih sistematis
dan terorganisir. Tsunami dan gempa bumi di Aceh, konflik Kristen-Muslim di
Maluku, perang di Timor Leste, ketegangan sebagian kelompok Budha dan Muslim
Rohingya di Myanmar, dan ketegangan-ketegangan politik Mindanao dan Thailand
Selatan adalah beberapa peristiwa yang telah menyebabkan banyak korban jiwa
yang kemudian merangsang tumbuhnya lembaga-lembaga kemanusiaan dan filantropi
di Asia Tenggara.
Seiring dengan
peristiwa-peristiwa bencana di atas, komunitas Muslim, khususnya di wilayah
Asia Tenggara, yang diwakili organisasi masyarakat sipil maupun solidaritas
kemanusiaan dan politik, mulai mengorganisasikan diri untuk secara langsung
terjun di lokasi bencana alam maupun lokasi konflik guna membantu para korban.
Pengalaman satu dasawarsa lalu ketika bencana Tsunami di Aceh dan gempa bumi di
Yogyakarta yang menyebabkan ribuan orang menjadi korban dan ratusan keluarga
kehilangan tempat tinggal, menunjukkan bahwa tidak sedikit lembaga kemanusiaan
yang terjun di lokasi bencana berasal dari organisasi berbasis keagamaan. Di
kalangan Muslim sendiri, organisasi kemanusiaan Islam tumbuh subur sebagai
respin terhadap peristiwa bencana maupun sebagai upaya menerjemahkan nilai,
prinsip, dan rumusan etika keagamaan dalam ruang publik yang lebih luas. (Hilman
Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, 2015: 17-18)
Sebagian besar materi
buku ini berasal dari lokakarya berjudul “Islam
and Humanitarian Affairs: Views and Experiences from Southeast Asia” yang
diselenggarakan pada 26-28 Juli 2013 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Lokakarya tersebut terselenggara atas kerja sama antara Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan International Committe of the Red Cross
(ICRC), dan mendapat dukungan dari Dompet Dhuafa dan Lazis Muhammadiyah.
Lokakarya ini dihadiri oleh peneliti, akademisi, dan pegiat urusan kemanusiaan
di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan
Filipina. Meskipun demikian, editor mengundang beberapa penulis tambahan untuk
memperkaya kajian dalam buku ini.
Buku ini tidak hanya
mencakup bidang yang menjadi perhatian utama ICRC, yakni perihal hukum
humaniter internasional. Buku ini dengan sengaja menampilkan cakupan yang lebih
luas dan menempatkan isu-isu hukum humaniter internasional dalam isu besar
Islam dan urusan kemanusiaan. (Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, 2015:
21-22)
Bagian
Pertama:
Penafsiran
Kontemporer Hukum Kemanusiaan Islam
Islam, Urusan
Kemanusiaan dan Kebangsaan (Hajriyanto Y Thohari)
Secara konseptual,
Islam melalui Alqur’an sejak awal menegaskan visinya yang transformatif dan
liberatif untuk kemanusiaan. Semenjak pertama turun ke bumi melalui wahyu yang
dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, Islam melakukan revolusi
teologis terhadap kecendrungan teologis bangsa Arab yang saat itu memuja
berhala-berhala yang diletakkan di sekitar Ka’bah. Revolusi Teologis yang
dibawa oleh Nabi Muhammad menekankan prinsip “Tauhid” yang hanya mengakui
keesaan Allah SWT dan menegasikan semua sesembahan selain Allah.
Secara langsung dan
tidak langsung, prinsip Tauhid ini menekankan semangat egalitarianisme atau
persamaan kemanusiaan sebagai simbol perlawanan terhadap perbudakan dan
kejahatan kemanusiaan yang saat itu marak terjadi. Kemudian, Islam lambat laun
menghapuskan perbudakan. Soal perempuan, Islam juga sangat visioner dengan
memberikan tempat yang mulia pada perempuan. Sebelum Islam datang, bangsa Arab
menganggap hina kaum perempuan, bahkan karena anak perempuan seringkali
dianggap sebagai anak yang tidak diharapkan, anak perempuan bahkan sering
dikubur hidup-hidup.
Dengan merekonstruksi
sejarah kenabian Muhammad dan mencermati ulang Al-Qur’an secara mendalam,
Asghar Ali Engineer berkesimpulan bahwa Islam mempunyai perhatian utama pada
keadilan sosial untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas. Islam juga
berkehendak untuk menciptakan masyarakat egaliterian. Tidak heran jika
ayat-ayat pertama yang turun pada Nabi Muhammad, banyak mengungkapkan
keprihatinan yang mendalam terhadap situasi sosial di Mekah pada saat itu. Visi
Islam yang egaliter menghargai kemanusiaan juga dilakukan Nabi Muhammad saat
itu dengan menekankan distribusi perdagangan dan ekonomi yang tidak hanya
dimonopoli oleh kabilah-kabilah tertentu.
Visi Islam tentang
kemanusiaan juga sangat terkait dengan visi Islam tentang kebangsaan. Dalam
ungkapan bahasa Arab yang sering digelorakan bahwa: hubbul wathan minal iman
(Cinta tanah air itu sebagian dari iman). Dari situ tampak bahwa kecintaan
tanah air dimana umat Islam hidup adalah sebagai cara untuk memupuk keimanan.
Dengan begitu, keimanan kita tidaklah berada di ruang hampa, tapi dibenturkan
dengan realitas sosial tempat umat hidup dan memberikan kontribusi positifnya
terhadap bangsa. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia,
keimanan ini diuji dengan pilihan semangat nasionalisme atau membela penjajah.
(Hal. 49-53)
Pandangan Islam
terhadap kebangsaan ini juga bisa kita temui dalam diskusi tentang darul islam (wilayah Islam) dan darul harb (wilayah perang). Menurut
sebagian umat Islam, kita sekarang ini masih hidup di wilayah darul harb (wilayah perang) karena umat
Islam belum mempunyai pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam dan pemimpin
yang secara formal berasal dari golongan Islam. Oleh sebab itu, banyak diantara
umat Islam di Indonesia yang menyerukan berdirinya negara Islam dan mengajak
untuk mendirikan Khilafah Islamiyah sebagai solusi total terhadap persoalan
keumatan dan kebangsaan. Sebetulnya, ada satu kategori lagi yang sering
dilupakan -atau sengaja disembunyikan- yaitu darus salam (wilayah damai), yang merupakan sebuah negara atau
wilayah yang meskipun tidak secara formal berlandaskan syariat Islam, namun
memberikan perlindungan dan kebebasan penuh bagi umat Islam untuk beribadah.
Indonesia dan sebagian besar negara yang menganut prinsip negara kebangsaan
(nation state) sesungguhnya bisa dikategorikan kedalam hal ini. Karena di Indonesia
dan banyak negara memiliki hukum, undang-undang dan sebagainya yang menjamin
kemerdekaan setiap individu untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing. Prinsip kebangsaan untuk mengakui darus salam adalah visi Islam yang juga harus kita gelorakan
sepanjang waktu. (Hal. 53-54)
Di tengah banyaknya
persoalan kemanusiaan dan kebangsaan yang dialami bangsa ini, maka Pancasila
yang juga merupakan hasil perjuangan umat Islam bersama umat agama lain di
Indonesia hendaknya dijadikan sebagai alternatif konseptual dan operasional
untuk memecahkan persoalan-persoalan itu. Kaki-kaki operasional Pancasila
adalah bentuk lain dari pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar persoalan kemanusiaan dan
kebangsaan di Indonesia bisa dikurangi dan tidak terulang pada masa yang akan
datang, perlu dilakukan kerja sama Islam untuk kemanusiaan dan kebangsaan.
Dalam penggalangan kerja sama ini, prinsip keterbukaan, sinergi antara Islam
dengan kemanusiaan dan kebangsaan, serta perumusan paradigma baru hendaknya
harus dijalankan segera.
Merumuskan
Perspektif Islam tentang Hukum Humaniter (Muhammad Amin Summa)
Objek Utama dari dari
kajian hukum humaniter (fiqh al-siyar)
pada dasarnya adalah prinsip pembedaan antara angkatan bersenjata, yang
melaksanakan permusuhan atas nama pihak peserta konflik; dan orang sipil yang
dipraduga tidak ikut serta secara langsung dalam permusuhan sehingga harus
dilindungi dari kemungkinan bahaya yang timbul dari operasi militer. Jika
demikian halnya, maka yang menjadi objek utama kajian Hukum Humaniter
Internasional pada dasarnya adalah tetap berada di sekitar jaminan keamanan
manusia dari kemungkinan terkena dampak (menjadi korban) konflik bersenjata
atau peperangan sekalipun. (Hal. 67)
Hukum Islam
memeritahkan para pengikutnya untuk menghormati hukum-hukum diluar yang ada
dalam teks-teks wahyu, termasuk juga hukum humaniter internasional. Terlebih
apabila dunia Islam sendiri turut aktif dalam merumuskan hukum humaniter
internasional yang memang ditujukan untuk melindungi rakyat sipil. Beberapa
hadits juga memberikan tuntunan yang lebih konkret lagi, betapa peperangan itu
harus dihindari sedemikian rupa, dan karenanya dalam konsep fiqh al-siyar tidak akan pernah ada
peperangan selagi belum menawarkan perdamaian. Sebelum melakukan pertempuran
apapun, Nabi Muhammad SAW selalu memerintahkan pasukan muslim lebih dahulu
menawarkan atau bahkan mengajak berdamai pihak lawan/musuh. (Hal. 72-73)
Intinya, fiqh al-siyar memerintahkan muslim atau
siapapun untuk tetap memiliki etika sopan santun walau di dalam perang
sekalipun. Dalam kadar tertentu, hukum boleh jadi tidak bisa lagi mengatasi
masalah yang sangat pelik. Yang terpenting adalah bagaimana penegakan kebenaran
dan keadilan sebagaimana yang dicitakan bersama oleh hukum humaniter
internasional maupun oleh syariat Islam.
Hukum Humaniter
Internasional (HHI) dan al-siyar: Sebuah
Kajian Perbandingan (Mohd Hisyam Mohd Kamal)
Sumber utama HHI
adalah hukum kebiasaan internasional dan perjanjian internasional. Ada dua
seumber utama perjanjian internasional yaitu : Konvensi Den Haag pada 1899 dan
1907, serta Konvensi Jenewa berikut protokol-protokol tambahannya. Ada juga
perjanjian HHI lain seperti Protokol Jenewa tahun 1925 mengenai larangan
penggunaan senjata pemusnah massal kimia atau penggunaan gas dan penggunaan
metode bakteri biologi dalam pertempuran, serta Konvensi tahun 1954 tentang
perlindungan terhadap benda budaya dalam konflik bersenjata.
Sementara itu,
sebagai turunan dari hukum islam, sumber utama dari al-siyar adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Di dalam ajaran
Islam, hukum Islam itu datang dari Allah sebagai pencipta. Tugas dan fungsi
dari ahli hukum Islam adalah menarik kesimpulan Hukum Allah dari sumber ilahiah
melalui mekanisme ijtihad. Itulah titik perbedaan antara sumber HHI dengan al-siyar. Kalau HHI dibuat oleh
negara-negara yang mengusulkannya, sementara al-siyar bersumber dari Allah SWT.
Perbedaan lainnya
berkaitan dengan moral dan etika. HHI memisahkan antara norma legal dan norma
moral. Sementara Nabi Muhammad diutus tidak hanya memberikan petunjuk bagi umat
untuk menerapkan aturan-aturan Allah dalam mengatur kehidupan manusia, akan
tetapi Nabi Muhammad diutus juga untuk menyempurnakan kebaikan moral. Dalam hal
ini, hukum Islam tidak memisahkan antara norma legai dan norma moral. Perbedaan
lain terletak pada konsep militer dan hukum pidana bagi setiap pelaku
kejahatan. ( Hal. 84-85)
Implementasi Hukum Humaniter
Internasional dalam Menegakkan Pertahanan dan Keamanan (Muhammad Nur Islami)
Menurut
konsep Hukum Humaniter Internasional, perang dapat dimanusiawikan dengan
berbagai cara:
1.
Dengan mengatur metode dan alat yang dapat digunakan dalam perang. Sebagai
contoh penggunaan ranjau darat, senjata laser, dan senjata Nubika dilarang
dalam peperangan.
2.
Dengan memberikan perlindungan bagi korban perang, seperti perlindungan
terhadap tawanan perang, benda-benda budaya, fasilitas umum seperti sekolah,
tempat ibadah, rumah sakit, museum, dan lain sebagainya.
3.
Menghukum pelaku kejahatan perang dengan seadil-adilnya tanpa adanya
diskriminasi.
Dengan melihat fungsi
hukum humaniter yang bertujuan untuk memanusiawikan perang tersebut, maka
sebenarnya tak ada alasan bagi setiap negara untuk tidak menyepakati konvensi
internasional tentang hukum humaniter tersebut. Patut diperhatikan juga bahwa
disamping mengatur perlindungan korban konflik bersenjata internasional, HHI
juga mengatur perlindungan konflik bersenjata dalam negeri (pemberontakan dalam
negara). ( Hal. 114)
Ada
4 alasan mengapa Hukum Humaniter Internasional harus dihormati dan
diimplementasikan :
1. Negara bertanggung jawab atas
warga negaranya, baik dalam keadaan aman maupun dalam keadaan berperang atau
penuh dengan konflik internal.
2. Adalah masuk akal dari cara
pandang militer untuk menghormati Hukum Humaniter Internasional.
Tindakan-tindakan semacam pembunuhan massal terhadap penduduk sipil,
pembantaian atas serdadu dan penyiksaan terhadap tawanan tidak pernah membawa
pasukan kepada suatu kemenangan. Penghormatan terhadap hukum humaniter
merupakan bagian dari strategi modern yang didasarkan pada penggunaan sumber
daya yang rasional.
3. Memperlakukan musuh dan
penduduk sesuai dengan hukum humaniter merupakan cara terbaik untuk mendorong
musuh melakukan hal yang sama juga. Menghormati kewajiban seseorang akan
mendorong pihak lain melakukan hal yang sama.
4. Ketika suatu negara menjadi
pihak dari suatu perjanjian hukum humaniter internasional, ia menerima untuk
menghormati kewajiban yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Karena itu, ia
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila tidak memenuhi kewajiban
tersebut. ( Hal. 117)
Bagian
Kedua:
Perspektif
Muslim tentang Jihad, Konflik, dan Perdamaian
Jihad dan Perang
dalam Literatur Muslim (Imam Yahya)
Sebetulnya perang
bukanlah konsep utama yang dikembangkan dalam Islam. Perang disyariatkan oleh
Islam dalam rangka mempertahankan diri dan eksistensi Islam serta kaum muslim.
Pensyariatan ini tidak berbeda dengan kewajiban agama lainnya seperti melakukan
qisas atau potong tangan bagi
pencuri. Setiap hukum diikuti dengan berbagai teknis operasionalnya, baik
sanksi hukum maupun hukum acaranya.
Dalam sejarah
kehidupan umat manusia, perang merupakan tradisi manusia yang universal dan
turun temurun sejak masa klasik hingga masa modern sekarang ini. Dalam catatan
sejarah sejak abad ke-15 SM hingga abad ke-19 M (34 abad), ada sekitar 31,5
abad dimana umat manusia selalu dirundung peperangan terus menerus. Sementara
lebihnya selama 2,5 abad, umat manusia hidup dalam keadaan damai. Dalam sejarah
politik Islam, perang menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari perilaku
kaum muslim sejak masa Nabi hingga sekarang ini. Kemudian masa khulafaur rasyidin, perang sangat
dominan dalam melihat eksistensi kaum muslim pada saat itu. Perang tidak hanya
berdimensi politik tetapi juga sebagai bagian dari kerja sosial kemasyarakatan.
Lebih lanjut
peperangan yang terjadi pada masa imperium Umayyah dan Abbasiyah telah
menghantarkan pada terbentuknya sistem ketentaraan di lingkungan pemerintahan
Islam.Perang ke daratan Eropa dan Asia yang dilakukan kaum muslim menambah
variasi perang. Namun demikian, para penulis sejarah muslim pada masa-masa awal
hingga perkembangan mutakhir kini lebih banyak melihat pembahasan perang
identik dengan jihad. Tak berlebihan jika sejarah perang dalam Islam tidak lagi
dipandang sebagai sebuah tatanan kehidupan politik, tetapi bagian dari
pelaksanaan ajaran agama.
Secara bahasa, musuh
dalam Islam terbagi menjadi dua, yakni pertama,
musuh dalam konteks keagamaan; kedua,
musuh dalam konteks kenegaraan. Musuh dalam arti keagamaan adalah musuh kaum
muslim yakni non-muslim atau kaum kuffar, sehingga memerangi mereka berarti
menegakkan agama Islam (Jihad). Dalam terminologi agama, jihad tidak serta
merta diartikan sebagai mengangkat senjata untuk memerangi non-muslim,
sebagaimana dipahami sebagian kalangan umat islam. Secara umum, arti jihad
dikategorikan menjadi tiga pengertian; jihad dengan hati, jihad dengan harta
benda dan jihad dengan nyawa. Secara ringkas, jihad dengan hati adalah berjihad
untuk memerangi hawa nafsu yang muncul dari dirinya sendiri. Jihad dengan harta
benda yakni mendermakan hartanya di jalan Allah untuk kebaikan dan
kesejahteraan umat. Sedangkan jihad dengan nyawa, barulah diartikan sebagai
perang yang sesungguhnya, bellum justum
dan bellum pium, yakni perang demi
keadilan dan kesalehan. Sedangkan musuh dalam arti kedua adalah musuh politik
dalam arti musuh negara. Siapa saja yang berusaha melawan kepemimpinan negara
berarti harus diperangi. ( Hal. 137-139)
Adapun ayat-ayat yang
konteksnya perang sangatlah banyak macamnya. Ayat peperangan yang pertama kali
turun adalah yang menyatakan bahwa peperangan diperbolehkan manakala memenuhi
beberapa persyaratan; pertama, karena kaum muslim dianiaya atau untuk
mempertahankan diri; kedua, menjalankan agama; ketiga, kebebasan agama yang
terampas.
Perang yang dilakukan dalam
tradisi Islam betul-betul menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Hal ini tercermin dari beberapa teks klasik yang bersumber dari hadits Nabi SAW
yang menyoroti etika perang dalam Islam, diantaranya adalah:
1.
Perang itu urusan laki-laki yang sudah dewasa. Perempuan dan anak-anak tidak
diperkenankan untuk ikut dalam peperangan.
2.
Larangan membunuh orang-orang yang sedang beribadah. Hal ini didasarkan pada
hadits Nabi mengenai larangan membunuh anak-anak dan orang yang berada di dalam
gereja.
3.
Tidak boleh berperang di malam hari.
4.
Keharusan memperhatikan lingkungan karena yang diperangi adalah pasukan musuh,
maka dari itu pepohonan dan bangunan yang berada di lingkungan perang harus
utuh. (Hal. 181-183)
Konsep Jihad dan
Perang dalam Tafsir al-Mishbah karya
Muhammad Quraish Shihab (Zunly Nadia)
Pemilihan terhadap al-Mishbah setidaknya didasari atas tiga
hal: Pertama, kitab tafsir ini
ditulis oleh seorang ulama sekaligus intelektual Islam Indonesia yang selama
ini sudah dikenal sebagai ahli di bidangnya. Kedua, selain ditulis oelh orang Indonesia asli, kitab ini juga secara
dominan menampilkan latar sosial Indonesia dalam kajian-kajian di dalamnya. Ketiga, al-Mishbah bisa dikatakan sebagai sebuah kitab tafsir paling
monumental dalam sejarah tafsir Al-Qur’an modern di Indonesia. ( Hal. 164)
Konsep jihad menurut
Quraish Shihab secara bahasa diambil dari kata jahd yang berarti “letih/sukar”.
Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa
jihad berasal dari akar kata juhd yang berarti “kemampuan”. Ini karena jihad
menuntut kemampuan. Hal yang wajar karena jihad memang merupakan ujian dan
cobaan bagi kualitas seseorang.
Seperti telah
dikemukakan sebelumnya, selama ini terjadi kesalahpahaman tentang istilah
jihad. Jihad biasanya hanya dipahami dalam arti perjuangan fisik atau
perlawanan bersenjata. Ini mungkin terjadi karena sering kata itu baru
terucapkan pada saat-saat perjuangan fisik. Memang diakui bahwa salah satu
bentuk jihad adalah perjuangan fisik, tetapi harus diingat pula bahwa masih ada
jihad yang lebih besar daripada pertempuran fisik, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran dengan ucapan: Kita kembali dari jihad terkecil menuju
jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu. ( Hal. 171)
Menurut Quraish Shihab, ayat-ayat
tentang jihad dimaknai dalam berbagai hal, yakni:
a. Jihad merupakan ujian dan
cobaan. Disini jihad merupakan salah satu cara yang ditetapkan oleh Allah SWT
untuk menguji manusia sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Ali Imron :142. Jihad
dalam artian ini memerlukan ketabahan dan kesabaran.
b. Jihad juga mengandung makna
kemampuan yang menuntut sang mujahid mengeluarkan segala daya dan kemampuannya
demi mencapai tujuan.
c. Tidak ada satu amalan
keagamaan yang tidak disertai dengan jihad. Paling tidak, jihad diperlukan
untuk menghambat rayuan nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan.
d. Jihad merupakan perwujudan
identitas kepribadian muslim. Karena itu, seorang muslim pastilah seorang
mujahid, dan tidak perlu menunggu izin atau restu untuk melakukannya. (Hal.
173)
Sementara itu konsep
perang dalam Al-Qur’an terdapat dalam term qital.
Kata qital dalam berbagai macam
bentuk variasinya terdapat 170 kali yang termasuk di 33 surah di Al-Qur’an.
Tidak semua term qital bermakna
perang, ada yang bermakna membunuh (Q.S. At-Takwir: 9) dan ada juga yang
bermakna kutukan atau siksa (Q.S. Al-Buruj: 4).
Menurut Quraish
Shihab, izin berperang bagi kaum mukmin ini datang sebagai pembelaan Allah
kepada kaum mukmin setelah mereka melakukan upaya. Izin berperang ini
dikeluarkan sebagai cara membela diri karena mereka telah dianiaya. Allah
melalui izin ini, berkehendak memenangkan agamaNya dan memberi kepada setiap
orang hak kebebasan beragama dan beribadah tanpa ancaman dari siapapun. Quraish
Shihab juga menegaskan bahwa izin memerangi kaum kafir bukan karena kekufuran
atau keengganan mereka memeluk Islam, tetapi karena penganiayaan yang mereka
lakukan terhadap hak asasi manusia untuk memeluk agama yang dipercayainya.
(Hal. 178-181)
Bertindak Aktif
Tanpa Kekerasan Demi Perdamaian yang berkesinambungan (Martino Sardi)
“Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
(Al-Hujurat : 10)
Bertindak aktif tanpa
kekerasan demi perdamaian yang berkesinambungan merupakan program teologi Islam
yang menantang pada masa kini. Berbagai tindak kekerasan yang terjadi akibat
konflik horizontal tidak dapat diselesaikan secara profesional, justru karena
kurangnya pendasaran refleksi teologi islami yang tepat. Islam sebagai agama
yang membawa kedamaian haruslah tampil sebagai pemecah masalah konflik demi
kedamaian yang berkesinambungan. Dengan demikian, akan dapat digalang adanya
masyarakat yang damai dan sejahtera. Konflik yang menyebabkan korban tidak
boleh terjadi lagi, karena berlawanan dengan perspektif Islam yang menjunjung
tinggi kedamaian. (Hal. 195)
Rintisan jalan menuju
ke arah perdamaian haruslah semakin jelas sebagai cara menyeesaikan masalah
konflik itu. Dengan demikian, tahap selanjutnya tidak lain daripada
penyelesaian masalah tersebut. Pihak yang berkonflik diharapkan akan semakin
menyadari bagaimana pentingnya hidup dalam suasana damai dan betapa sengsaranya
berada dalam kondisi konflik. Kesiapsediaan untuk saling menerima, saling
menghargai satu sama lain dan mau hidup berdamai merupakan syarat utama dalam
langkah ini. Dari situ langkah selanjutnya diharapkan agar mereka yang sedang
berkonflik itu mau saling belajar dan menimba untuk hidup berdamai dengan
melihat ke depan yang cerah dan berdaya guna, sambil menyadari bahwa tindakan
konflik tidak ada gunanya lagi dan hanya meragukan saja. Dalam suasana demikian
ini haruslah dikembangkan sikap untuk saling menyadari, mendengarkan, memahami,
mengerti, dan menerima satu sama lain, bila perlu dengan koreksi berdasarkan
kebenaran dan keadilan. (Hal. 203-204)
Perdamaian,
Pencegahan Konflik, dan Hukum Islam : Pandangan dan Pengalaman Muslim Filipina
(Hamid Barra Aminoddin)
Perjuangan kaum
Muslim di Filipina untuk menentukan nasib sendiri sudah terjadi sejak 1565,
yakni ketika penjajah Spanyol mencoba mengasimilasi Kesultanan Moro ke
wilayah-wilayah yang ditundukkan oleh Spanyol. Selama 333 tahun (1565-1898),
perang sengit terjadi antara penjajah dan Moro atau Bangsamoro. Kaum muslim
tidak pernah ditundukkan oleh Spanyol. Ketika Amerika Serikat mengalahkan
Spanyol dalam Perang Spanyol-Amerika tahun 1898, Spanyol menyerahkan seluruh
kepulauan Filipina kepada Amerika Serikat, termasuk wilayah Bangsamoro yang
tidak pernah ditaklukkan sebelumnya. Dengan demikian, orang Moro harus
menghadapi musuh lain selama hampir lima dekade (1898-1946).
Ketika kemerdekaan
Filipina dideklarasikan pada 1946, daerah muslim setuju menjadi bagian dari
Republik. Namun, kebencian yang dirasakan selama pemerintahan pendudukan
Amerika terus menghantui Bangsamoro. Menurut Uskup Agung Orlando Quevedo V,
akar penyebab konflik di Mindanao adalah ketidakadilan yang dilakukan terhadap
muslim, termasuk ketidakadilan untuk kemerdekaan mereka, ketidakadilan terhadap
identitas mereka, dan ketidakadilan untuk perkembangan integral mereka. (Hal.
207-208)
Mempromosikan
perdamaian di Filipina dan mencegah konflik antara kelompok pembebasan muslim
dan pemerintah sesungguhnya tidak sulit dilakukan. Pasalnya, para pejuang muslim
adalah muslim yang taat yang juga terikat dengan aturan dan hukum-hukum Islam,
dan pejabat pemerintah Filipina sebagian besar orang kristen yang percaya
kepada Yesus sebagai Raja Damai. Terbukti, ujung tombak dalam penyelesaian
konflik di Mindanao dilakukan oleh pemuka agama dari kedua belah pihak melalui
dialog dan konferensi yang menghasilkan sesuatu yang positif tentunya. Salah
satunya adalah membantu masyarakat campuran (Muslim-Kristen) untuk membentuk
zona damai.
Kesempatan untuk
perdamaian dan pencegahan konflik di Mindanao berlangsung positif, karena ada
keterbukaan dari semua kelompok terhadap eksistensi damai dan ketidaksukaan
terhadap perang. Puncaknya adalah penandatanganan Persetujuan Kerangka Kerja
kepada Bangsamoro antara Kelompok pejuang muslim dan pemerintah yang
ditandatangani pada 15 Oktober 2013. Dengan ini, kesepakatan yang menguntungkan
kedua belah pihak dan pencegahan konflik yang berkepanjangan menemukan suatu
akhir yang cerah bagi masa depan Filipina. (Hal. 212-213)
Bagian
Ketiga:
Rekonsiliasi
dan Perdamaian Pascakonflik
Islah
Sebagai Dalih Melupakan Masa Lalu: Kasus
‘Penyelesaian Konflik’ Tanjung Priok (1984) dan Talang Sari (1989) (Wahyudi)
Islah berasal dari
bahasa Arab. Asal katanya salaha, yang berarti baik atau bagus, yang kemudian
mendapatkan tambahan alif menjadi aslaha-yuslihu yang berarti membuat lebih baik atau melakukan
perbaikan. Kata islah ini sering
dikontraskan dengan kerusakan (al-fasad).
Karena itu, istilah islah lebih
diartikan pada menuju ke arah perbaikan dari kerusakan sebelumnya. (Munawwir,
1997: 789).
Alih-alih sebagai
solusi penyelesaian konflik kekerasan masa lalu antara korban dan pelaku, islah menjadi dalih untuk melupakan masa
lalu dalam peristiwa Priok dan Talang Sari. Lebih jauh, selain menjadi alat pemecah
belah suara di kalangan korban, islah menjadi
alat teror kepada korban dan keluarga korban yang ingin menyelesaikan kasus
tersebut melalui jalur hukum. Terma islah
sebagai konsep Islam dimaknai secara sepenggal demi kepentingan para pelaku
dan korban sendiri. Jika mau ditelisik lebih jauh, terkait dengan hukum Islam,
telah memuat penjelasan mengenai cara penyelesaian terkait dengan hilangnya
nyawa seseorang, yakni melalui qisos.
Jika dianalogkan, islah adalah kosa kata yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan Hadits, yang sering didengungkan tetapi tidak tahu bagaimana prosedur
menggunakannya. Sementara di sisi lain, secara tradisi dan praksis keseharian
masyarakat muslim Indonesia, kata silaturahmi
sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka. Imbasnya, ketika islah dipraktekkan, yang muncul bukanlah
bagaimana hukum Islam dari islah itu
dilakukan dengan cakupan yang lebih dalam, namun yang terjadi malah lebih
kental unsur silaturahminya. Dalam konteks ini, istilah islah terbatas menjadi semacam momen Hari Lebaran yang bersifat
personal dimana orang bisa saling memaafkan tanpa perlu mengetahui kesalahan
atas apa yang telah mereka lakukan dan proses pembelajaran publik apa yang
dapat dipetik. (Wahyudi, 2009: 178)
Dari Inisiatif
Muslim Menuju Kerja Sama Lintas Agama: Studi Kasus Asian Muslim Action Network
(Mohamad Fikri Pido)
Dalam kurun waktu 23
tahun, Asian Muslim Action Network (AMAN) telah berupaya mengkaji dan merespons
berbagai isu yang berkembang di Asia. Sebagai organisasi yang hadir dari
inisiatif komunitas muslim, AMAN perlu melihat tantangan masa depan dengan
semangat kebersamaan bersama kelompok-kelompok agama lain. Ada tiga kesimpulan
yang bisa kita lihat dalam tulisan ini, diantaranya adalah; Pertama, kolaborasi. Dalam upaya
perdamaian tidak ada ruang lingkup persaingan kecuali persaingan yang lebih
baik. Kolaborasi dalam berbagai sektor seperti agama, HAM, ekonomi dan militer,
sangat penting untuk mewujudkan perdamaian; Kedua,
Institusi. Eksistensi AMAN sebagai sebuah organisasi jaringan merupakan
sebuah kesuksesan, namun lebih dari itu AMAN perlu melakukan evaluasi dan
memikirkan jati dirinya sebagai sebuah institusi; Ketiga, proses evolusi kelembagaan. AMAN telah berkembang dari
jaringan individu atau masyarakat menjadi sebuah jaringan ide, harapan, dan
impian. (Hal. 248-268)
Interaksi
Tionghoa-Santri Pascakerusuhan 1998 di Lasem (Munawir Aziz)
Kerusuhan yang
terjadi di Indonesia pada peralihan Orde baru menuju reformasi menjadi babak
penting dalam sejarah politik dan sosial di negeri ini. Kerusuhan sosial dan
konflik lintas budaya-agama ini kemudian berpengaruh terhadap interaksi
komunitas, identitas, hingga perdebatan tentang nasionalisme. Momentum peralihan
inilah yang menjadi titik penting bagaimana orang Tionghoa dan santri di Lasem
melihat konflik, resolusi konflik dan perdamaian sebagai sebuah tahapan sejarah
yang memengaruhi identitas personal-komunal.
Di Lasem, potensi
konflik pada tahun 1998 dapat dilampaui dengan meningkatkan interaksi
antartokoh, silaturahmi antarkomunitas hingga menggunakan modal sosial untuk
merawat kepercayaan antarwarga. Inilah strategi untuk menyelesaikan konflik di
tengah struktur masyarakat heterogen, yang berbeda agama, budaya dan pandangan
politik. Di tengah situasi ini, orang-orang Tionghoa (baik yang muslim maupun
non-muslim) menjalin interaksi harmonis dengan Santri yang menjadi bagian
mayoritas dari penduduk Lasem. Hal inilah yang menjadi kuncinya: Potensi
konflik dapat diredam dengan strategi silaturahmi yang menjadi basis nalar dan
sikap santri sebagai representasi orang Islam bertenis Jawa, sedangkan modal
sosial digunakan oleh orang Tionghoa untuk mempertahankan kepercayaan dan
menciptakan rasa damai dan aman di tengah kota yang dikepung isu kerusuhan
massal.
Pengalaman
sejarah orang-orang Tionghoa-santri di Lasem ini, masa pasca-konflik dikuatkan
dengan interaksi kultural serta kegiatan-kegiatan organisasi sosial yang
melibatkan kedua kelompok. Santri dan pesantren sebagai intuisi budaya, memberi
ruang bagi orang-orang Tionghoa untuk menjadi bagian dari kehidupan tradisi
Islam pesisir di Lasem. Sedangkan di kota ini, orang-orang Tionghoa membuka
diri untuk terlibat dalam kegiatan keagamaan, hingga menyelenggarakan
ritual-ritual yang menguatkan interaksi antarkelompok. Pengalaman inilah yang
menjadi bagian dari usaha melampaui konflik serta menguatkan nilai-nilai
perdamaian di kota Lasem. (Hal. 271-298)
Bagian
Keempat:
Filantropi
dan Kegiatan Kemanusiaan dalam Masyarakat Multikultural
Menafsirkan Spirit
Al-Ma’un dan Aktivisme Kemanusiaan Muhammadiyah (Budi Setiawan)
Dikisahkan bahwa Kyai
Dahlan mengajarkan surah Al-Ma’un kepada para muridnya selama berminggu-minggu,
hingga para muridnya bosan. Saat itulah Kyai Dahlan mampu melakukan terobosan, dengan
menginspirasi para muridnya agar surah Al-Ma’un dapat diamalkan dengan
kesungguhan. Pada kasus ini Kyai Dahlan mampu melakukan teori pengulangan dalam
prinsip pembelajaran. Para murid menjadi sangat tertarik dengan apa yang
diinginkan oleh Kyai Dahlan dan pada saat itulah Kyai Dahlan menjelaskan makna
dan apa yang harus diamalkan dari surah Al-Ma’un. Persoalannya apakah dengan
hal itu para murid Kyai Dahlan dapat menjaga konsistensi dan kontinuitasnya
dalam mengamalkan isi surah Al-Ma’un?
Implementasi surah
Al-Ma’un tampaknya telah berkembang sedemikian rupa dengan dibentuknya beberapa
badan atau bagian dari organisasi Muhammadiyah yang memang fokus pada pemberian
bantuan demi kesejahteraan umat di kala bencana. Tentunya dalam hal ini,
pertolongan dan bantuan diberikan tanpa memandang suku, agama, maupun ras yang
ada. Sebagai contoh apabila dirunutkan secara kronologis, adalah sebagai
berikut :
1. Peristiwa letusan Gunung Kelud
tahun 1919 yang mengakibatkan sedikitnya 5000 orang tewas, dan puluhan ribu
lainnya kehilangan tempat tinggal. Tak lama kemudian, dibentuklah PKO (Penolong
Kesejahteraan Oemoem) sebagai salah satu bagian dari persyarikatan yang
memberikan bantuan berupa santunan kepada para korban.
2. Peristiwa letusan Gunung Agung
tahun 1963 yang menelan ribuan korban jiwa telah mendorong pembentukan gugus
tugas yang mengurusi korban bencana pada Sidang Tanwir 1963. Namun menemui
kebuntuan karena bangsa Indonesia disibukkan oleh berbagai peristiwa politik.
3. Setahun setelah gempa dan
tsunami di Aceh, serta gempa di Yogyakarta yang memakan korban jiwa dan
materiil yang tak terhitung banyaknya, telah mendorong pembentukan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center).
4. Kemudian yang terakhir adalah
pembentukan LAZISMU (Lembaga ZIS Muhammadiyah) pada 2002 dan juga pendirian LPB
(Lembaga Penanggulangan Bencana) Muhammadiyah pada tahun 2010. (Hal. 307-316)
Peran Dompet Dhuafa
dalam Mewujudkan Masyarakat Sipil (Tuti Alawiyah)
Dompet Dhuafa telah
membuktikan menjadi sebuah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang kuat dari
sisi pendanaan dan dalam memberikan pelayanan dan pemberdayaan sosial, ekonomi,
pendidikan, dan kesehatan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, keluarga
dan masyarakat. Namun demikian, keberadaan OMS harus dibarengi dengan
ketersediaan ruang publik yang luas dan upaya terus-menerus untuk mencapai
masyarakat yang lebih baik (masyarakat madani). Dalam konteks ini, penting
untuk menguatkan peran Dompet Dhuafa untuk ikut serta dalam menyediakan
berbagai forum, menguatkan aspek pengetahuan melalui kajian, penerbitan, dan
publikasi ilmiah lainnya. Selain itu, mendorong semakin kuatnya sektor OMS
melalui advokasi kebijakan publik terutama dalam aspek pendanaan organisasi,
membangun kemitraan dan kolaborasi dengan beragam OMS dan organisasi pendukung
sektor masyarakat sipil juga merupakan elemen penting untuk kemandirian dan
keberlanjutan sektor ketiga (masyarakat sipil) di Indonesia untuk mewujudkan
Indonesia yang lebih sejahtera dan lebih baik. (Hal. 318-329)
Menebar Kepedulian,
Mendulang Nama: Pengalaman Komunitas Tionghoa Muslim di Yogyakarta Pascabencana
(Rezza Maulana)
Tulisan ini mengulas
lebih banyak mengenai aktivitas sosial komunitas Tionghoa Muslim, khususnya
dalam merespons bencana alam. Pemahaman apa yang mendasari mereka melakukan
aksi sosial kemanusiaan dan bagaimana sistem bekerjanya di lapangan. Serta apa
saja kendala dan tantangan yang dihadapi selama ini. Untuk menyusun tulisan
ini, penulis mendasarkan pada pengalaman penulis terlibat dalam berbagai kegiatan
organisasi PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), khususnya dalam hal
kegiatan sosial. Data diambil dari wawancara lepas yang dilakukan oleh penulis
dengan anggota PITI Korwil Yogyakarta, dilengkapi dengan literatur terkait
dengan itu. (Hal. 335)
PITI sendiri
merupakan perkumpulan yang cukup aktif dalam melakukan penanggulangan dan
pemberian bantuan pascabencana. Saat terjadi beberapa bencana alam yang
berskala nasional seperti tsunami di Aceh misalnya, meskipun tak memberikan
bantuan berupa donasi yang banyak bagi warga disana yang menjadi korban,
disamping terbatasnya saluran untuk menyalurkan bantuan kesana, komunitas ini
hanya menggelar acara buka bersama beserta pemberian bantuan bagi mahasiswa
Aceh yang ada di Jogja, bertempat di asrama mahasiswa Aceh. Contoh lainnya
adalah pasca gempa di Bantul dan peristiwa erupsi Gunung Merapi, dimana PITI
Yogyakarta bertindak sebagai penyalur dana bantuan dari luar kota dan
mengumpulkan donasi dari PITI dari daerah lain. (Hal. 340-342)
Pandangan Islam Tentang
Perlindungan terhadap Kaum Marjinal dan Korban Konflik (Abdul Muhaimin)
Gerakan membangun
kesadaran kemanusiaan dilakukan dengan berbasis pesantren seperti Pesantren
Nurul Ummahaat Kotagede Yogyakarta dinilai banyak pihak sangat efektif dan bisa
mencairkan ketegangan antar-agama di masyarakat dan mengurangi pengerasan
wacana-wacana keagamaan di Indonesia. Mengingat masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang patronais, sehingga mudah memahami contoh yang diteladani
seorang kyai, pastor, pendeta, bhikku yang menjadi panutan mereka. Dari aspek
keteladanan praksis di masyarakat akar rumput, peran-peran yang dilakukan oleh
kalangan pesantren bersama tokoh-tokoh agama sangat efekktif dalam menyegarkan
pemahaman agama yang lebih humanis dan memiliki kontribusi nyata dalam
membangun karakter kebangsaan ditengah-tengah masyarakat plural.
Komentar
Posting Komentar